s.p.a.s.i...s.p.a.s.i
"Gimana, udah ada panggilan dimana?", tanya seorang manager saat aku hendak memulai sarapanku di meja kerja.
"He..he.. belom niyh Pak. Belom ada yang panggil aku." Jawabku.
Trus... bla-bla - bla ... intinya aku diceritakan kalau di perusahaan subconnya vendor, salary bisa 4 kali gajiku sekarang. Menggiurkan. Biar bisa naik haji usia muda, ucapku. Dan Beliau dengan senang hati membantuku untuk 'menyalurkan' aku ke perusahaan subcon, dimana Beliau punya kenalan.
Truz...
"Kamu ngerti BSS?"
"Ngerti."
"Transmisi?"
"Belom."
"Coba kamu minta sertifikasi tentang ilmu ke-teknis-an dari training yang kamu ikutin. Pernah training kan?"
"Iya... Aku pernah ikut TecSys for non technical, trus Ericsson 3G pricing List."
"Nah... perlu tuh sertifikatnya. Soalnya kalo backgroundnya teknik, trus lingkup kerjanya di administratif aja, itu ga keterima dimana-mana. Kamu tau ceritanya I***l kan? Dia kan basicnya teknis, tapi karena dia kerjanya di sini administratif bikin dokumen, jadinya perusahaan ga mau terima dia. Dia udah kepanggil di E******N, T*******L, dah macem-macem tapi ga kepanggil."
"O gitu ya Pak..."
"Iya, soalnya dia dianggap belum menguasai segi teknis nya. Coba kalo kerjaannya dia kaya Radio Network Planning, transmisi, udah kepanggil tuh."
Truz... Beliau bercerita tentang anak bimbingannya, lulusan STM Telkom yang sempat 1 tahun join dengan Beliau di transmisi dan sekarang udah kerja di vendor di Pekanbaru.
Cool...
See the bold line?
Kalimat itu mengusik ketenanganku. cie...
Karena ... ada nada pesimis dan prasangka buruk di sana.
OK deyh... variabel ga diterimanya temanku di suatu posisi teknis kan emang banyak, mungkin salah satunya karena lingkup pekerjaannya bukan di technicalnya. Tapi tho itu bukan 100 % penyebabnya kan? Mungkin hm... apa yah, hal lain yang berkaitan dengan aptitude. Nah... that's the first. Dan belum diterimanya seseorang di suatu perusahaan itu bukan kartu as kalau dia ga bisa hidup sejahtera. Jutaan jalan menggapai sejahtera dan bahagia. Begitu kaaannn...
The second is, menurutku, kalimatnya akan lebih indah kalo dinyatakan seperti ini :
I***l masih cukup waktu belajar teknis transmisi atau radio, ia anaknya pintar, pasti bisa bekarier di tempat yang sesuai sama background nya. Walaupun tugasnya pernah administratif di dokumen PR, saya yakin dia tetap bisa menjalankan fungsi teknis, hanya perlu belajar lebih banyak.
Pfiuh... cape deyh.
Culture, atau apa ya?
Rasanya kita lebih sering diperdengarkan kalimat negatif.
Aku pernah baca buku hm... tentang motivation - parenting gitu lah ya, disitu dijelaskan, ada habit seperti ini :
Daripada ngomong : "Jangan jalan di tengah." jauh lebih baik bilang "Jalannya di pinggir ya...". Makna kalimat positif itu sejuta kali lebih memberikan ruang gerak daripada kalimat negatif.
So, mohon maaf...
Yuks kita biasakan habit untuk berkata dan bicara hanya di kuadran positif.
WA Lt. 11 Jam 8.41 26 Januari 2007
"Gimana, udah ada panggilan dimana?", tanya seorang manager saat aku hendak memulai sarapanku di meja kerja.
"He..he.. belom niyh Pak. Belom ada yang panggil aku." Jawabku.
Trus... bla-bla - bla ... intinya aku diceritakan kalau di perusahaan subconnya vendor, salary bisa 4 kali gajiku sekarang. Menggiurkan. Biar bisa naik haji usia muda, ucapku. Dan Beliau dengan senang hati membantuku untuk 'menyalurkan' aku ke perusahaan subcon, dimana Beliau punya kenalan.
Truz...
"Kamu ngerti BSS?"
"Ngerti."
"Transmisi?"
"Belom."
"Coba kamu minta sertifikasi tentang ilmu ke-teknis-an dari training yang kamu ikutin. Pernah training kan?"
"Iya... Aku pernah ikut TecSys for non technical, trus Ericsson 3G pricing List."
"Nah... perlu tuh sertifikatnya. Soalnya kalo backgroundnya teknik, trus lingkup kerjanya di administratif aja, itu ga keterima dimana-mana. Kamu tau ceritanya I***l kan? Dia kan basicnya teknis, tapi karena dia kerjanya di sini administratif bikin dokumen, jadinya perusahaan ga mau terima dia. Dia udah kepanggil di E******N, T*******L, dah macem-macem tapi ga kepanggil."
"O gitu ya Pak..."
"Iya, soalnya dia dianggap belum menguasai segi teknis nya. Coba kalo kerjaannya dia kaya Radio Network Planning, transmisi, udah kepanggil tuh."
Truz... Beliau bercerita tentang anak bimbingannya, lulusan STM Telkom yang sempat 1 tahun join dengan Beliau di transmisi dan sekarang udah kerja di vendor di Pekanbaru.
Cool...
See the bold line?
Kalimat itu mengusik ketenanganku. cie...
Karena ... ada nada pesimis dan prasangka buruk di sana.
OK deyh... variabel ga diterimanya temanku di suatu posisi teknis kan emang banyak, mungkin salah satunya karena lingkup pekerjaannya bukan di technicalnya. Tapi tho itu bukan 100 % penyebabnya kan? Mungkin hm... apa yah, hal lain yang berkaitan dengan aptitude. Nah... that's the first. Dan belum diterimanya seseorang di suatu perusahaan itu bukan kartu as kalau dia ga bisa hidup sejahtera. Jutaan jalan menggapai sejahtera dan bahagia. Begitu kaaannn...
The second is, menurutku, kalimatnya akan lebih indah kalo dinyatakan seperti ini :
I***l masih cukup waktu belajar teknis transmisi atau radio, ia anaknya pintar, pasti bisa bekarier di tempat yang sesuai sama background nya. Walaupun tugasnya pernah administratif di dokumen PR, saya yakin dia tetap bisa menjalankan fungsi teknis, hanya perlu belajar lebih banyak.
Pfiuh... cape deyh.
Culture, atau apa ya?
Rasanya kita lebih sering diperdengarkan kalimat negatif.
Aku pernah baca buku hm... tentang motivation - parenting gitu lah ya, disitu dijelaskan, ada habit seperti ini :
Daripada ngomong : "Jangan jalan di tengah." jauh lebih baik bilang "Jalannya di pinggir ya...". Makna kalimat positif itu sejuta kali lebih memberikan ruang gerak daripada kalimat negatif.
So, mohon maaf...
Yuks kita biasakan habit untuk berkata dan bicara hanya di kuadran positif.
WA Lt. 11 Jam 8.41 26 Januari 2007
No comments:
Post a Comment