spasi spasi

Bagai kumpulan text, perlu ruang kosong untuk dapat membacanya dengan jelas.

Bagai lokasi, perlu jarak untuk membuatnya tidak sesak.

Bagai runutan peristiwa, perlu jeda untuk mampu mengenang episode yang sudah dilalui.

Bagai gerak, perlu kejap tarikan nafas untuk terus melaju

Wednesday, May 16, 2007

Mengundi Nasib dan Permainan Semasa Kecil

s.p.a.s.i...s.p.a.s.i

Terinspirasi kemaren, saat melihat anak2 komples yang sedang bergiliran suit untuk giliran maen karet. Teringat aku akan permainan masa kecil dan betapa aku ingin teriak dan protes terhadap rezim yang membuat 'aturan tidak tertulis' itu.

Pertama, mainan congklak atau dakon.

Seingetku, ada aturan yang menyatakan bahwa saat kita menjalankan biji congklak, kita ga boleh menghitung berapa jumlah biji yang ada di wadah awal (yang akan kita ambil); trus kita juga ga boleh hitung-hitungan kira-kira dimana tempat berhenti kita. Kita hanya boleh pilih satu tempat, trus langsung deh dijalanin biji congklaknya. Dan faktor terpenting di sini adalah luck. Kalo hoki, maka akan ngider dalam waktu lama dan lumbung besarnya akan terisi biji yang banyak. Tapi kalo ciong, paling baru beberapa langkah udah 'mati'.

Well, kalo itu adalah seperti sebuah 'pembentukan karakter' yang salah sedari kecil. Bagaimana tidak, sedari kecil nampaknya kita diajarkan untuk mengandalkan hoki, bukan perhitungan. Coba keadaannya dibalik. Biarkan sewaktu bermain congklak, si pemain menghitung-hitung dari mana ia akan menjalankan bijinya, trus... make decission, dan siap terhadap konsekuensinya. Konsekuensinya bisa mati di suatu tempat setelah ngider lama, atau mati di satu tempat tapi 'nembak' biji congklak lawan dalam jumlah banyak.

Dan ...Bukankah hidup seperti itu tho? Semua perlu diperhitungkan dan diketahui konsekuensinya, trus pilihlah suatu pilihan yang konsekuensinya paling siap untuk dihadapi. Dan pilihan (selama itu berada dalam koridor norma agama) kurasa tidak akan salah. Karena toh kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi ke depannya, kita hanya coba 'memproyeksi' konsekuensinya. Dan setiap pilihan punya konsekuensi. Betul kan...

OK. Next adalah suit dalam permainan karet.
Duh... Aku memang paling ga suka untuk hal-hal yang berbau mistis, judi, khamr. That's why bahkan suit aja jadi perhatian utamaku. Kemaren aku lihat sekumpulan anak melakukan suit untuk giliran loncat di permainan karet. Ya ampyuuuunnn... Kenapa untuk hal giliran loncat karet aja pake ngundi nasib kaya gitu siyh? Yang menang suit (which is, walopun ada teori probabilitas untuk suit, tapi kan kita ga menang atau kalah suit itu di luar kehendak kita, ga bisa diupayakan) giliran pertama jalan, yang menang selanjutnya giliran selanjutnya, dan 2 yang kalah adalah yang 'jaga'. Duh, anak-anak, kenapa siyh sistemnya tidak berubah.

Niyh sistem barunya. Bikin aja kompetisi mini untuk memperebutkan giliran pertama. Misalkan, balapan lari sampe rumah Pak A (tentunya jarak dekat untuk spint yah), dengan begitu kan anak-anak punya motivasi dan akan berupaya keras untuk sprint secepat-cepatnya demi mendapat reward, yaitu giliran pertama loncat karet. Lebih adil dan menenteramkan kan[halah. ko kaya tag nya Bank Syariah???]. Atau kalo mo pake cara damai, ya... legowo-legowoan aja deyh, bilang secara lisan siapa yang mau giliran pertama, kedua, dan seterusnya. Termasuk siapa yang mau jaga. Kalo pada berebut, cobalah anak2 itu belajar berdiskusi / melobi.

Intinya, aku itu paling sebel sama mitos yang berbau hoki-hoki an. All already written in one's fate. Memang ada hal-hal yang unpredictable yang ga terduga, misalkan dapet bonus A hadiah B de el el. Dan ... menurutku itu memang sudah tertulis di takdirnya, bukan 'hoki' dari orang itu. Yang aku percaya, kalo kota pengen sesuatu, semua musti si ikhtiarkan dan ditawakalkan dan diminta dari Dia.

Allahu A'lam bish Showab. Maaf atas pilihan aksara yang terkesan 'berapi-api'.
16/5/2007 (menjelang long weekend) WA Lt. 11 jam 9.39

No comments: