spasi spasi

Bagai kumpulan text, perlu ruang kosong untuk dapat membacanya dengan jelas.

Bagai lokasi, perlu jarak untuk membuatnya tidak sesak.

Bagai runutan peristiwa, perlu jeda untuk mampu mengenang episode yang sudah dilalui.

Bagai gerak, perlu kejap tarikan nafas untuk terus melaju

Sunday, April 09, 2006

“Bu, Kok Kecoanya Mati???”

Sabtu siang sekitar jam 10, atas undangan teman, aku menghadiri open house sebuah SD Islam di kompleks perumahan Pulo Gebang Permai. Nama SD itu adalah Ar Ridho Islamic School. Angkatan pertama dimulai di tahun ajaran 2006/2007. Sekolah ini menawarkan active learning, bilingual environment, 6 juz tahfidz. Temanku akan menjadi guru di sekolah tersebut.

Open house dimulai pukul 8. Sengaja aku men’terlambat’kan diri, karena tujuan utama adalah bersilaturahim dengan beberapa teman yang menjadi pengajar di sana, dan bukan mencari referensi sekolah dasar. Setengah jam perjalanan (angkot plus jalan kaki memasuki area kompleks) tibalah aku di lokasi. Sesi yang sedang berlangsung adalah sesi perkenalan dengan guru-guru. Celingak-celinguk, Alhamdulillah bertemu teman, kami pun duduk menyimak semua hal yang dijelaskan oleh pembicara. Berhubung aku ‘gaptek’ mengenai pendidikan SD untuk anak,maka semua program yang terpaparkan di sana langsung masuk ke otak di folder ‘Sekolah untuk Anakku’ tanpa ada bearing apa-apa, dengan score ‘excellent’.

Sekitar jam 12, acara ceremonial selesai, dilanjutkan dengan kunjungan ke dalam gedung sekolah. Hm… Belum gedung juga siyh. Dua rumah dijadikan satu, sedemikian rupa, disekat-sekat, sehingga terbentuk 4 ruang kelas, 1 ruang computer, 1 ruang audio visual, 1 dapur, 1 open space room unuk perpustakaan (I crushn on this room since the first time I saw it… Feminin purple with many displays, completed with plenty great books inside its shelf, a little round table filling the center of the room, pfuiiih… ), 1 ruang administrasi, dan beberapa space area yang masih kosong.

Tengok sana sini, kagum atas hasil kerja keras teman-temanku dan timnya, Dan menyesal juga, kenapa sekolah di zamanku hanya men’serve’ kursi kayu coklat konvensional berjajar dengan default display ‘Garuda’ di atas papan tulis hitam; dan Garuda diapit oleh foto presiden beserta wakilnya (Parahnya, yang diganti tiap lima tahun hanyalah foto wakilnya. Foto presidennya tetap setia menjadi penunggu kelas); serta bendera merah putih yang multi fungsi juga untuk lap tangan anak-anak; meja guru yang semakin menjauhkan kesan egaliter dunia pendidikan Indonesia; intinya, aku kagum dengan konsep ‘Learning is Fun’ (and learning is actually fun). masa kini.

Setelah berkeliling, para Ayah dan Bunda mulai bubaran. Entah mengapa, aku betah ngendon di ruang audio visual. Dengan cat tembok hijaunya, TV, VCD player, CD, Radio & tape (iPod aja deyh yang ga kelihatan kik..kik..kik), dan puzzle gabus lembut yang melapisi lantainya. Peralatan audio itu juga ditemani oleh boneka-boneka kecil lucu. Ada rabbit, banana, mickey mouse lengkap dengan bantal gulingnya, yellow duck. Aduhhh… gemesssshhhh deyh. Oh ya.. Aku ditemani 4 anak sehat yang lucu. Namanya Caca, Syifa, Sarah, dan satu anak laki-laki yang paling muda di antara mereka (duh... entah siapa namanya. Kita sepakati aja nama sementaranya adalah Rijal. Toh anak lelaki itu adalah seorang Rijal juga - Rijal = laki-laki (bahasa Arab)- ). Mungkin agak norak, tapi aku menikmati bermain lempar-lemparan boneka dengan mereka sesekali memberi tebakan apa bahasa Inggris dari boneka yang sedang kupegang.

Lagi seru-serunya, si Rijal yang cakep itu menggandeng tanganku, langsung menggiringku ke balik pintu, memperlihatkan seekor kecoa yang terbaring tak berdaya (btw, kecoa kan emang udah automatically posisinya terbaring / tiarap yah???).

Rijal : Bu, ada kecoa (tangan kanan memegang tangan kiriku, tangan kiri menunjuk kecoa)
Syifa, Caca, Sara : Iiihhh... iya. Ada kecoa.
Aku : Iya... kecoanya mati tuh (ekspresi muka sok tau, padahal ga ngerti mengapa kecoa itu tak bergerak sama sekali; sambl membungkukkan badan untuk meyakinkan penglihatanku kalau yang ditunjuk Rijal adalah kecoa sungguhan, bukan kayu sisa renovasi rumah atau mainan karet atau lainnya).

Rijal : Bu, kok kecoanya mati?

Aku : Hm.... Kecoanya mati... (Diam, sambil terus memandang kecoa, sambil memikirkan jawaban yang benar).

Syifa, Caca, Sara, Rijal : Kembali ‘ngariung’ di tengah ruangan untuk melanjutkan lempar-lemparan bantal. Hiks.... Rijal meninggalkan aku yang masih terbebani dengan jawaban atas pertanyaan dia.

Aku : Selama 10 detik masih terpaku memandangi kecoa dan mengobrak-abrik semua folder tentang parenting / child education yang sempat bersemayam di otakku, mencari jawaban tepat untuk Rijal.

Teng-tong .... Time is up. U FIRED !!!! Hwaaa….

Dengan folder yang masih berantakan di otakku, kuputuskan untuk meninggalkan keempat anak lucu itu di ruang audio visual. ‘Ibu keluar dulu yah…’.

Bagai reporter, liputan tadi langsung kulaporkan ke temanku yang menjadi Bu Guru. Hm… Namanya Hilda dan Ning. Kuceritakan episode kecoa tadi dengan ekspresi lengkap, dan narasi yang tak terlewatkan walau satu peristiwa, dan exposisi yang terpapar jelas. Tahukah apa respon para Bu Guru tadi,,, They were laughing. Hiks…. Ya, Mereka ketawa. Tolong Duonk, bagi mereka pertanyaan-pertanyaan basic yang ngejlimet model begitu mungkin biasa mereka dengarkan. Tapi untukku,,, Wahh… ijasah S1 pun langsung menciut saat tahu pertanyaan itu. Parahnya, Temanku itu menjawab,,, “Hm… Mungkin bilang aja, sudah takdirnya kecoa itu mati, hwe,,hwe,,, J” Wadouw… itu mah bakalan makin runyam.

Dan sampai saat ini, belum kutemukan jawaban yang benar-benar valid untuk menghilangkan dahaga Rijal atas semua hal yang dia sudah lihat atau yang akan dia lihat. Aku baru mampu memaparkan beberapa jawaban :

  1. Kecoa mati karena takdir. (next question : takdir apaan? Siapa yang bikin? Udah pernah lihat takdir belom?). Hiks… Ini namanya menjawab masalah dengan masalah.
  2. Kecoa mati karena badannya terbalik selama beberapa menit. (ilmiah juga,,,, next question : Kalo badan kita terbalik, bakalan mati juga ga? Emang kenapa badannya terbalik trus bisa mati? Coba lihat badan kecoa dong Bu) . Makin runyam.
  3. Kecoa mati karena ada yang menepok badan kecoa dengan sepatu (jawaban bohong. Karena badan kecoa yang mati itu tidak gepeng seperti kecoa yang habis ditepok).
  4. Kecoa mati karena tergencet pintu (jawaban bohong. kaya’ nomor 3).
  5. Kecoa mati karena terinjak manusia (jawaban bohong. kaya’ nomor 3)
  6. Keecoa mati karena terkena cat –btw, di badan kecoa ada sedikit bercak hjau, yang tampkanya bekas cat- (next question : Emang catnya kenapa? Catnya beracun ya buat kecoa, Kalo gitu, biar rumahku ga ada kecoa, aku minta mama siram cat aja ke seluruh lantai), Hwa... Makin merepotkan dan ga valid.
  7. Kecoa mati karena kekurangan udara, karena kepenuhan pengunjung di ruang audio visual. (Udara buat apa? Emang kecoa nafas? Nafasnya gimana? de el el...). Welehh... Kudu jadi wikipedia.com berjalan niyh.

Subhanallah... Rijal kecil yang kuduga usianya baru 2 tahunan itu begitu polosnya dan cerdasnya. Begitu meluluhlantakkan ijasah S1-ku hanya dengan pertanyaan : ‘Kok kecoanya mati Bu?’.

next question for me :

  1. View years coming, Will I ready to answer all the questions from my on little Rijal?
  2. How good is my preparation to ‘conquer’ Rijal’s wondering?

‘Kecoanya mati karena …’ sepertinya akan menjadi bunga tidurku.

-cozy room, 9 April 2006, 8.30-

No comments: