spasi spasi

Bagai kumpulan text, perlu ruang kosong untuk dapat membacanya dengan jelas.

Bagai lokasi, perlu jarak untuk membuatnya tidak sesak.

Bagai runutan peristiwa, perlu jeda untuk mampu mengenang episode yang sudah dilalui.

Bagai gerak, perlu kejap tarikan nafas untuk terus melaju

Monday, June 21, 2010

kala Kekaguman Tertuju Pada Orang Biasa

s.p.a.s.i...s.p.a.s.i

Menjelang maghrib, lagi bincang-bincang basa-basi sama Ibuku.

He..he.. aku emang ga bener-bener deket sama nyokap secara hati. Tapi aku sayang, menghormati, dan selalu mendoakan kebaikan untuk Beliau. Kenapa aku ke Beliau ga sedekat dan hubunganku ga senyaman antara aku ke suamiku, atau aku ke sahabatku? Well... karena... mohon maaf, Beliau berfikir dan mengehendaki untuk anak-anaknya selalu dalam perspektif Beliau. Ga salah, dan perspektifnya bagus. Masalahnya... anaknya cocok apa ngga? Apakah benar itu yang diinginkan anaknya? ALLAHUA'LAM, mungkin ini didikan zaman Beliau yang begitu sulit, sehingga Beliau trauma jika melihat anaknya harus berpayah-payah mengerjakan sesuatu.

Sorry -sengaja- jadi curcol. he..he..

Jadi, kami lagi ngobrolin sebuah keluarga, dimana sang Bapak kami kenal. Mereka memiliki epat orang anak yang kecil-kecil. Dan keluarga itu memang menganut prinsip tidak mau membatasi jumlah anak. Aku ga mau berdebat soal ini ya... Karena, yang terpenting buatku adalah seberapa besar kesabaran orang tua untuk mendidik semua anaknya, tanpa mengistimewakan satu dengan yang lain.

Trus, aku menyatakan kekagumanku pada Ibuku mengenai sang istri keluarga itu. Aku wandering, istrinya kerja apa ibu rumah tangga ya? Ibuku ngejawab ga tau.

Trus, aku lanjutin kekagumanku itu ... hebat ya, Ibu rumah tangga, punya 4 anak, ngurus sendiri. Aku aja masih jungkir balik ngurusin my ganteng yang usianya hampir 20 bulan ini.

Kemudian, Ibuku berkata lagi, Iya, keluarga Mas itu kan ga mau membatasi anak. trus, aku jawab... Wahh.. hebat ya. empat anak. Aku gimana nih ya.. Lagi deg-deg nan juga nih, biasanya tanggal segini haid, ini kok belum ya.

Ibuku langsung pasang muka spanning, 'makanya periksa... wah, kalo anakmu dua, udah deh, ibunya ga bisa nafas.'

Iihh... sebel banget! Napa sih ucapannya pesimis gitu. Kita ga tau masa depan kan, Siapa tau setelah anak dua aku dan suami bisa punya rumah sendiri, suamiku kerja di perusahaan yang gajinya bisa senilai 15 dinar, bahkan bisa hire asisten / baby sitter yang baik, Ibuku ga perlu lagi mengurus cucunya kan? Tinggal isi hari-hari pensiunnya dengan masak, bikin rajutan, atau apalah yang disukainya. Ini niyh... kalo kultur nya udah pesimis. Jadinya ketularan. Anaknya jadi ga percaya diri. Duhh, gimana sih mbah gwe ngedidiknya?

Dan setelah itu, malamnya, aku nangis di sujud shalat malamku. Gimana ya... hm... Campur aduk seh. Jikalau aku dikasih kepercayaan itu, dalam hati, aku akan bahagiaaa sekali. Tapi dasar syaithon yang membisikkan kekhawatiran. Khawatir aku ga bisa ngurus lah, aku masih bergantung sama orang tua lah... Uhhhh... I hate syaithon!!!

Optimis! Aku bisa mengurus keluargaku. Walau bagaimanapun, insyaALLAH aku bisa. Ini hanya masalah jam terbang.

Ya ALLAH.... Engkau Maha Tau yang terbaik. Aku serahkan segala urusank padaMU Ya Rabb..
Amien.

Tempat yang membosankan
hari ultah bos gede.
jam 3.13

No comments: