s.p.a.s.i...s.p.a.s.i
Dan perubahan adalah sesuatu yang pasti. Kita ga bisa mengelak, kita ga bisa lari darinya. Perubahan bisa membawa ke suatu kondisi yang lebih nyaman, atau sebaliknya. Dan friendship ku saat ini sedang berada dalam fase itu. Ada yang akan berubah di antara aku dan sahabat-sahabatku. Time to time ... melalui fasenya masing-masing, melalui ujiannya masing-masing.
Perubahan yang akan terjadi adalah … salah satu di antara kami dalam waktu dekat akan menyempurnakan separuh diennya. Kami sangat berbahagia. Alhamdulillah, setelah ikhtiar dengan beragam warna, akhirnya sampai juga pada suatu waktu dimana ALLAH mempertemukan dia dengan seseorang yang akan ia percaya sebagai qawwam, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kami pun turut berbahagia, walaupun tidak dipungkiri ada sekerat kelabu di hati kami.
Kelabu itu adalah … kami tidak ingin merasa ‘kehilangan’ lagi. Sebab beberapa episode hidup kami, dengan sahabat kami yang lain, kami selalu merasa kehilangan mereka yang sudah merentas keluarga barunya sendiri. Well, kami maklum dan mahfum, bahwa keluarga inti yang baru terbentuk telah menjadi prioritas pertama dalam kehidupan mereka. Dan persahabatan yang pernah dijalani bersama dalam ribuan aktivitas, seakan sudah habis masanya. Tapi sekarang … masing-masing kami tak ingin persahabatan ini disudahi oleh perubahan status keduniaan apapun.
Yups… hari itu, Sabtu sore di rumah Hilda, kami berlima, aku dan 4 sahabatku, semuanya menyadari bahwa ini adalah ujian persahabatan. Mampukah kami persistence untuk lebih bisa saling memberikan pengertian bagaimana caranya agar bonding itu tetap erat… bahkan lebih erat. Anyway, kami berlima menghabiskan Sabtu sore itu dengan campuran mellow dan bercanda kacaw. Saat yang selalu kami rindukan.
Ga bohong, masing-masing kami mengeluarkan ekspresi mellow bahagia. Liends & Nink yang duduknya berdekatan saling menguatkan dengan usapan dan sentuhan tangan mereka. Hilda yang polos, tetap polos, dan menyimpulkan keadaan ini. Sementara Desi, agar air matanya tidak banjir, ia melampiaskan dengan makan empek-empek; Ahh... tapi Desi ga bisa berbohong, setelah shalat Maghrib (kalo aku ga salah ingat), kulitnya yang putih itu memantulkan kemerahan di daerah hidung dan sembab di mata yang disebabkan tangisan. Aku … he..he… rada gengsi aja berurai air mata di antara mereka. Walaupun Nink udah bilang, “Udah deyh Di... keluarin aja apa yang mau loe keluarin.”, teteup aja aku cool dan (tetep) keren. he..he.. Well, secara polos aku sudah request ke sahabatku (yang mau menggenapkan separuh dien nya itu) bahwa aku menginginkan dia agar tetap menjaga bonding kedekatan ini walaupun dia harus menjaga bonding baru di keluarga inti yang baru dibentuknya. Rasanya ga pengen banget untuk measakan ‘kehilangan’ lagi. Semoga ini bukan egois... Semoga ini adalah suatu awareness bahwa sbuah friendship akan meminta usaha yang lebih keras untuk dijaga bondingnya.
Mungkin ini fase pembelajaran dan pendewasaan untuk kami berlima. Untuk lebih membuktikan bahwa status keduaniaan apapun tidak menjadi banned untuk kedekatan yang kami bangun. Untuk segala keceriaan yang saling kami berikan, Untuk semua kesedihan yang saling kami ringankan, dan untuk semua keilmuan yang saling kami pelajari.
PS :
Maaf, ga aku publish siapa di antara kami yang dalam wkatu dekat akan menggenapkan separuh diennya. Belum waktunya dipublish. (anyway, yang jelas bukan (or belum) aku. he..he..)
Menjelang maghrib di Ahad sore yang basah di kamarku di tanggal 8/4/2007.
Ditemani melodi yang enak dari outlandish.
No comments:
Post a Comment